Hujan

Rabu, 23 Maret 2011

Rumah Kaca Berselimut Embun

Bismillahirrahmanirrahim.

Dengan nama Allah  yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
***
RUMAH. 
Yupz, itulah tema yang diangkat dalam lomba nulis cerpen di akhir 2010 yang sy ikuti.
Hasilnya?
hehe..alhamdulillah tercatat sebagai PESERTA saja. 
Kali ini yang ngadain adalah komunitas Grup TAMAN SASTRA di fesbuk
Ok, deh!! Biar gak berpanjang lebar cz ntar jadi luas.. *geje* langsung deh..
***
Rumah Kaca Berselimut Embun
Faricha Hasan
Sebuah Cerpen.
Rumah Kaca Berselimut Embun
Faricha Hasan

Maya. Namanya Maya Dana. Gadis bermata coklat itu baru beberapa bulan yang lalu merayakan dua puluh dua tahunnya. Hidupnya sederhana. Sangat mudah ditebak. Itulah mengapa, kusebut ia rumah kaca. Cantik, terang, dan tak punya rahasia. Dalam dirinya seperti tak ada beban hidup. Tak ada yang tersembunyi di tiap sudut hati dan pikirannya. Gadis itu seringkali rapuh, mudah menangis saat sedih. Pun sebaliknya, tawanya pecah dengan ringan saat ia bahagia. Meski demikian, tak jarang pula ia menjadi begitu kuat dan pantang menyerah Kegagalan bukanlah alasan untuknya berhenti melakukan hal-hal yang diyakininya benar. Namun ia bukanlah seorang risk taker, pengambil resiko. Zona aman adalah pilihan terbaik untuk jalannya.
‘Kalo kita bisa menjadikannya mudah, kenapa harus dipersulit, Ri.’ katanya suatu kali saat kurasa ia sedang begitu berduka dan dilematis. Orang tuanya bercerai dan ia harus memilih antara tinggal dengan ayah atau bundanya.
‘Itu yang terjadi dan biarkan saja terjadi. Kalo memang Tuhan berkehendak demikian, mengapa kita gak terima. Toh pasti ada rencana lain yang Ia persiapkan. Life must go on, dear’  tak tampak kerutan sesal di wajah cantiknya. ‘Aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa. Aku sudah berusaha membuat mereka berdamai. Tapi kamu lihat, kan? Damai itu adalah ketika mereka sudah bercerai. Sekarang tak ada lagi perang diantara keduanya. Ayah hidup damai bersama Tante Indah. Dan Bunda bahagia bersamaku.’  Akhirnya ia memilih tinggal dengan wanita yang melahirkannya. Ia tetap saja tak bergeming. Meski kulihat ada sembab yang samar di mata coklatnya. ‘Seberapa lama ia menangis semalam?’ batinku bertanya-tanya.  
Beberapa hari berikutnya ia menangis di depanku.  Saat itu Kak Gandhi, Kakak kelas kami yang ia taksir baru saja menikah. Maya mengalami love on the first sight. Kejadian itu terjadi ketika kami masih berseragam putih abu-abu.. Maya kelas X dan Kak Gandhi, kakak kelas kami, kelas XII. Maya yang seperti rumah kaca itu tak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Ia menyatakan cintanya pada Kak Gandhi dan bertepuk sebelah tangan. Ajaibnya, Maya sama sekali tak merasa menyesal. Tak pernah ia ratapi kesedihan yang begitu tampak dari kilat bening jendela rumah kacanya. Dua tahun berlalu. Kabar itu sampai di telinganya. Kak Gandhi yang masih semester empat itu menikah. Tangis Maya pecah. Lirih, ia berkata, ’Aku kan lagi sedih, Ri. Aku cuman menangis. sebentar saja.’ Dan benar, setelah menangis, kehidupannya berlanjut dengan baik-baik saja. Ia tak pernah lagi mengungkit tentang Kak Gandhi.
Maya. Namanya Maya Dana. Kita saling mengenal awal SMP. Kelas VII kami sekelas. kelas VIII kelasnya bersebelahan dengan kelasku. Kelas IX kami sekelas lagi. Masuk SMA yang sama, kelas X kami beda kelas. Tahun berikutnya kami bertemu di kelas XI IPA I. Dan tepat seperti dugaanku, tahun terakhir di SMA, kami beda kelas lagi. ’Haha.. apakah ini tanda-tanda kalo kita jodoh, ya, Ri?’ katanya ringan saat suatu waktu kami bersenda gurau. Perkataan tak seriusnya yang kuamini dalam hati. Ya, aku berharap ia lah jodohku. Gadis itu mampu membuatku tak pernah melirik gadis lain semasa remajaku. Ibarat lirik lagu, ia benar-benar mengalihkan duniaku.
’Ri, tau Kak Niswa, kan?’ tanyanya dalam bisikan di sela-sela tumpukan buku perpustakaan. Kami duduk berseberangan. Waktu itu kami sedang sibuk mempersiapkan diri menjelang UN. Aku mengangguk dan sedikit melotot memperingatkannya untuk tidak berisik. Gak lucu banget ’kan kalo Pak Maman penjaga perpus yang duduk tak jauh dariku melemparkan pena ala Rangga? Maya malah tertawa menerima pelototan mataku. Tawa yang mengundang daheman Pak Maman. ’Kak Niswa yang guru ngaji Dila!’ lanjutnya lagi dan tak menggubris peringatanku. Aku mengangguk lagi. ’Iyya, Mayya. Tauk!!’ aku menekan tiap kata-kataku dan meyakinkannya. Tawanya pecah lagi. ’Maya..’ Pak Maman seperti menyorotkan laser hijau supporter bola dari matanya. Maya terdiam. Mengangguk. ’Iya, pak Maman yang cakep!’ setelah menyunggingkan senyum innocent-nya, Maya menumpuk kembali buku-bukunya dan mengembalikan ke rak semula. Seperti tertular, aku mengikutinya. Ia keluar. Dan aku di belakangnya.
’Napa, sih, May?’ tanyaku setelah kami duduk di bangku panjang depan perpustakaan.
’Aku pengen cerita tentang Kak Niswa. Yang guru ngaji Dila itu, lho..’
’Iya tauk! Emang kenapa dengan Kak Niswa? Eh, lagian kamu gak sabar banget, May. Ceritanya gak bisa ditunda apa? Padahal aku tadi lagi asyik baca majalah, kamunya ganggu aja!’
’Apa, Ri? Majalah? Jadi kamu gak belajar?’ ia menyudutkanku. Gantian aku yang tersenyum innocently.
’kan refreshing, May! Udah ah. Napa emang Kak Niswa?’
’Dia mau nikah, lho..’
‘Trus?’ tanyaku heran. Maya tersenyum lagi. Kali ini tak renyah. Ia hanya mengulum senyumnya. Kucoba tebak-tebak manggis tentang senyum yang membuat buram kaca di bening mata coklatnya. ‘Apa hubungan antara Kak Niswa yang akan menikah dengan Maya, ya? Emm.. sama sekali gak ada sangkut pautnya. Kami juga tak begitu mengenal Kak Niswa. Kami hanya beberapa kali diajak Dila mengaji bersama di rumahnya. Dan Kak Niswa dengan senang hati membimbing aku dan Maya juga. atau....
’Ow, kamu pengen kita kasih kado sama Kak Niswa?’ akhirnya aku berhasil menebak.
’Ih, bukan itu, Ri. Kalo yang itu, sih, emang pasti. Aku cuman pengen cerita kalo calon suami Kak Niswa itu Bang Ilham.’
”Apa, May? Jadi cuman gara-gara itu?’ aku bertambah heran. Rumah kaca itu semakin buram.
’Aih si Arian. Gak ngerti juga?’ tanyanya mulai sebal. Aku menggeleng pasrah.
’Gini lho, Ri. Kak Niswa itu beruntung banget, ya? Udah cantik, baik, pinter ngaji, eh.. sekarang nikahnya sama seorang ksatria pula. Aku jadi pengen kayak Kak Niswa. Pengen nikah sama seorang ksatria!’ buramdi bening mata coklatnya hilang dan berganti binar terang menakjubkan.
’Ksatria? Ksatria baja hitam?’ gurauku yang membuatnya manyun. Namun tak selang beberapa detik ia terpingkal.
’Dasar cowok! Lama banget dewasanya!’
Aku menatapnya. Lagi-lagi dengan penuh keheranan. Sebenarnya yang childish tuh aku atau Maya, sih?
’Gini lho, Ri. Aku jelasin dengan baik deh. Dengerin baik-baik. Aku males kalo pake retelling sgala!’ prolog pendeknya membuat telingaku siaga.
’Jadi kelak kalo aku nikah, aku berharap suamiku tuh seorang ksatria. Seorang lelaki sejati. Baik akhlaq dan hatnyai, pengertian, pinter, romantis, tau banget gimana memperlakukan istri, bertanggung jawab, dan yang terpenting, cintanya tulus dan tanpa bosan. Eh,Syukur banget kalo ia juga cakep. Hehe..’  binar matanya semakin terang. Aku terkesiap mendengar penjelasannya. Tipe-tipe standar sebenarnya, tapi kurasa cukup berat.
’Ri, kok malah kamu yang ngelamun?’ sentilan telunjuk Maya di hidungku membuatku tersadar. ’Hayo.. mikirin apa, nih?’ tanyanya menggodaku.
’Gak kok. Cuman.. cuman kamu aneh banget, sih, May. Masak ngomongin itu saat menjelang UN kayak sekarang. Gak tepat, tauk! Udah, sekarang kita belajar lagi!’  aku mengelak dan meninggalkannya.
Seperti biasanya, rumah kaca itu dengan cepat membiarkan semua hal terjadi begitu saja. Ia tetap berkilau dan bening. Sedangkan aku merasa begitu terbebani dengan perkataannya. Aku bertanya-tanya sendiri apa maksud Maya memberitahuku tentang lelaki sejati impiannya. Dan dengan sangat yakin kujawab sendiri. Maya memberiku clue agar aku menjadi lelaki sejati itu. Menjadi seorang ksatria. Tanpa menanyakan lebih lanjut padanya, aku membangun misi hidupku. Salah satunya adalah menjadi lelaki sejati idamannya, seorang ksatria yang ia impikan. Ya, kurasa Maya juga merasakan hal yang sama denganku. Ia menyukaiku. Tapi mengapa tak ia ungkapkan secara langsung seperti perasannya pada Kak Gandhi? Pertanyaan itu mengusik hatiku. Maya bukanlah gadis yang pandai menyembunyikan perasaan. Dan kembali aku merasa kalau ia menganggapku hanya sebagai Arian teman baiknya. Itu saja. Áaargh!! Hatiku geram.
Hari-hari selanjutnya berlalu seperti sediakala. Kami menghadapi UN dan lulus dengan memuaskan. Kami kuliah di tempat yang sama dan jurusan yang sama pula. Namun tebakanku berikutnya salah. Pikirku ia akan berada satu kelas yang sama lagi denganku. Ternyata tidak. Kami berbeda kelas. Ia menemukan teman baru dan aku juga.. Kehidupan kampus menyita banyak waktuku. Aku tak lagi sering bersama Maya. Kelas yang berbeda membuat kesibukan kami berbeda pula. Ia berubah dan mungkin demikian denganku. Aku tak bisa lagi membacanya. Tak lagi bisa melihat apa saja yang berkecamuk dalam dirinya. Namun ia tetap cantik dan terang. Semakin terang dengan berbagai aktivitasnya. Aku juga demikian. Aku merasa semakin matang. Sengaja aku tak begitu sering menemuinya.. Aku akan datang sebagai Arian yang tak hanya teman baiknya. Tapi Arian si lelaki sejati. Arian sang ksatria impian yang akan datang melamarnya Kupersiapkan diriku untuk memberinya kejutan.
Kejutan?
Ya, ternyata sebaliknya. Aku lah yang terkejut. Maya yang datang lebih awal padaku. Tadi pagi ia menemuiku. Aku melihatnya semakin anggun dengan gamis hijau dan jilbab senadanya. Ia sudah berjilbab sejak awal kuliah. Dan busana panjang itu kurasa baru dipakainya setelah kami ujian skripsi, sebulan yang lalu.
’Ri, rasanya lama banget kita gak ketemu!’ ia meruntuhkan kebisuan diantara kami. Ia tersenyum dan mengulurkan benda itu padaku. Selembar undangan merah jambu.
’Aku menemukan lelaki sejati itu. Kurasa ksatria idamanku memang ada, Ri.’ lanjutnya kemudian. Jantungku berdegup kencang. Tidak, tak hanya kencang, tapi sangat kencang.
‘Bulan depan insyaAllah kami menikah. Kamu datang, kan, Ri?’ tanyanya lembut. Ia tersenyum dikulum. Aku mengangguk pelan.
Setelah mengucap salam ia meninggalkanku sendiri. Aku bukanlah rumah kaca. Tapi aku serasa runtuh dan pecah. Ternyata aku salah. Ia memang rumah kaca. Namun aku tak berhasil melihatnya dengan baik. Aku hanya berkutat dengan berbagai jawaban dan perkiraanku sendiri. Aku telah membiarkan rumah kaca itu sendiri beberapa tahun terakhir ini. Tanpa kepastian. Membuatnya kedinginan dan berembun. Ya, aku tak dapat melihat dirinya lagi karena kini rumah kaca itu berselimut embun.

--31122010. 01.20 a.m.--
 
--dew.pondok kupi-kupu--
 

0 komentar:

Posting Komentar

hey, whoever are you, you can give comment to my writing. just enjoy giving me comment as long as it can be usefull for me. so, just be my on line's friends!!