Hujan

Selasa, 22 Maret 2011

KOTA CANTIKKU PAGI INI

Bismillahirrahmanirrahim.

Dengan nama Allah  yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
 
***
Kali ini tentang naskah cerpen yang lagi-lagi tereleminasi. 
*gak boleh sedih!!* 
Well, nih naskah pernah sy kirim buat partisipasi Lomba Cipta Cerpen FSS 2010
Bertema Imajinasi Tentang Kota.
***
KOTA CANTIKKU PAGI INI
Faricha Hasan
***
Aku selalu suka dengan embun dan tarian kupu-kupu di pagi hari. Itulah mungkin hal yang selalu membuatku rela bangun lebih pagi dan menengok taman belakang rumah. Berharap embun belum menguap karena sengatan mentari pagi dan kupu-kupu masih menari hinggap di antara kuncup-kuncup mawar yang mulai mekar. Aku selalu memanfaatkan waktuku bersama mereka kalau aku berhasil menemukannya. Tak lama, mungkin hanya beberapa menit saja sebelum aku harus memulai hariku dengan setumpuk rutinitas yang harus aku kerjakan.

Seperti kali ini. Aku harus bersyukur karena berhasil membuka mataku lebih awal, bahkan sebelum alarm K508i-ku membunyikan tone­-nya. Kusibakkan selimut hijau yang sebenarnya begitu ingin kutarik lagi. Meskipun tengah kota, Malang jam 5 pagi tetap saja terasa dingin. Tirai jendela kamar kecilku ini kusibakkan. Ternyata semalam hujan mengguyur Malang. Kulihat sisa-sisa gerimis masih menetes dan membuat basah kuyup bougenville­ yang berdiri kokoh tak jauh dari jendela kamar kostku ini. Beberapa tetanggaku juga tampak sudah terbangun. Lantunan murattal dari rumah Ustadz ’Ali terdengar begitu merdu. Dan samar-samar terdengar juga rekaman kuliah Subuh yang kuyakin pasti berasal dari radio di rumah Tyas. Gadis itu salah seorang announcer radio Swanada, sebuah stasiun radio yang cukup populer di kotaku. Ia seringkali harus siaran pagi hari. Dan sebelum Sapa Pagi yang dipandunya, radio itu mengudarakan rekaman kuliah pagi. Karena itu, Bunda Tyas selalu rutin memutar kuliah Pagi untuk kemudian mendengar suara putri satu-satunya yang tinggal di rumahnya.

Petok petok. Petok petok. Kukuriguk. Kukuriguk. Alarm K508i-ku berbunyi hampir bersamaan dengan kokok jago piaraan Bang Maman, tetangga sebelah tempat kost-ku yang punya tiga ekor jago; Kurik, Kulik, dan Kucik. Mengingat nama para jago kesayangan Bang Maman itu membuatku geli. Lelaki asli Sunda itu memang kreatif.
Kuhampiri K508i yang bertengger di atas Diorama Sepasang Albana, novel hadiah ulang tahun dari Kak Faiz. Novel yang kali ini sedang kubaca untuk ke-empat kalinya. Bukan, tentu saja bukan karena aku tak punya bacaan lain. Tapi memang itulah salah satu novel favoritku. 5.02. Sederet digit yang ditunjukkan layar ponsel satu-satunya milikku yang kini ada di tanganku. Klik. Kokokan alarm-nya pun berhenti. Ada dua massages. Aku baru saja akan membukanya ketika ketukan pintu mengagetkanku. ”Ninis, udah bangun, belum?” suara Neng Ami terdengar lembut dan merdu. Namanya Aminah Lubabah, teman kostku. Aku memanggilnya dengan sebutan ’Neng’ yang artinya ’kak’ di kota asalnya, Pasuruan. Kubuka pintu kamarku, ”Udah Neng Am!” Jawabku sambil tersenyum dan dibalasnya dengan seulas senyum pula. ”Hmm, pasti belum sholat Subuh, ya?” ia menebak-nebak manggis. Kulihat Neng Aminah masih menggunakan mukenanya. Ia pasti sudah sholat Subuh setelah semalam juga bertahajjud. Gadis itu memang rajin. ”Hehe..keliatan, yak?” aku bertanya tanpa perlu jawaban. Ya, iyalah, keliatan. Kumal gini. Batinku. ”Ya, udah, gih, cepetan!” katanya lagi dan beranjak kembali ke kamarnya.
***
”Hmm, segarnya!” aku bergumam sambil menikmati pagi di halaman depan rumah kostku. Aku sudah menunaikan sholat Shubuh, bertilawah beberapa ayat, merapikan tempat tidur, dan meneguk segelas susu hangat yang disiapkan Neng Ami. Kutuju taman kecil yang berada tak jauh dari kamarku. Ah, indahnya. Aku melihatnya. Dua ekor kupu-kupu bersayap hijau dan jingga terbang saling mengejar dan mengitari kuntum-kuntum mawar yang baru saja membuka kuncupnya saat tersinar mentari pagi. Mawar-mawar merah cantik yang ditanam Bu Salma, perempuan paruh baya yang dipercaya ibu kost untuk memantau kami, delapan gadis penghuni kost ini. Kunikmati juga kristal-kristal embun bening menggumpal di atas helai dedaunan kuping gajah yang berjajar tak jauh dari bougenville. ­Sesekali, tetesan air sisa gerimis dari daun bougenville memecah kristal-kristal embun di atas dedaunan bawahnya. Di samping deretan kuping gajah kudengar gemericik cipratan fountain kecil di tengah kolam ikan mini. Beberapa ekor ikan, yang tak kutahu namanya, menyembul dari dalam air dan, kurasa, saling berebut menyapaku. Mereka muncul di antara teratai-teratai yang baru kemarin menempati kolam ikan mini bercat biru itu.

”Pagi, Mbak Ninis!” sapaan lembut Bu Salma mengembalikan aku ke alam nyata. Aku tersenyum padanya. “Belanja apa aja, Bu?” kulihat dua kantong plastik di tangan kanannya. “Macem-macem, Mbak. Ada sayuran, tempe-tahu, dan pindang paes, kesukaan Mbak Ninis, kan?” diangkatnya satu kantong plastik yang berisi ikan hasil tamban berprotein tinggi kesukaanku. “Saya masuk dulu, ya, Mbak!” wanita desa yang baik itu meninggalkan aku.

Aku kembali ke dalam rumah dan memasuki kamar kost-ku. Aku mengecek kembali isi tas dan map yang perlu kubawa hari ini. Setelah itu bergegas menyiapkan diri. Tak perlu waktu lama untuk mandi, berias, dan memakai seragam kerjaku. Tak sampai setengah jam aku sudah rapi dan siap berangkat. Sekolah tempatku mengajar masuk jam delapan pagi. Dan setidaknya, aku harus sudah stand by dan mengisi buku absensi jam setengah delapan-an. Ruang makan tampak sepi. Neng Ami sudah berangkat dari jam enam. Dia bilang akan ada tugas yang harus diselesaikannya pagi ini. ia adalah salah seorang asdos salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini. ia juga seorang mahasiswi S2 semester akhir. Hanes dan Anggi pasti sudah berangkat lebih pagi lagi. Mereka berdua sedang sibuk dengan berbagai les menjelang UN. Kak Salwa, Kak Niken, dan Mbak Hanum juga baru saja berangkat. Mereka mengajakku berangkat bersama tapi aku menolaknya. Mereka sepertinya sedang terburu-buru. Andra, yang sebaya denganku, sedang pulang karena Kakak satu-satunya yang ia miliki menikah dua hari lagi. Dan tinggalah aku sendiri di depan meja makan lumayan besar ini. Kulihat beberapa potong roti di atas meja. Dan aku tak berminat menyantapnya sebagai sarapan pagiku. Lebih baik aku sarapan di kantin sekolah. Lebih mengenyangkan perut. Akupun hanya meneguk segelas air putih hangat yang, seperti biasanya, disiapkan Bu Salma untukku.
”Bu Salma, Ninis berangkat dulu, ya!” pamitku kepada Bu Salma yang sedang sibuk di dapur kecil kami. ”Ya, Mbak. Lhoh, Mbak Ninis gak sarapan, dulu?” tanyanya saat melihat roti di atas meja belum tersentuh olehku. ”Tidak, Bu. Saya sarapan di kantin saja.” jawabku kemudian mencium tangannya. Bagi kami, Bu Salma yang sebaik seorang ibu itu pantas untuk dianggap ibu kami. ”Assalamu’alaikum, Bu” aku tersenyum dan meninggalkannya.
***
Kalau saja tak terlihat olehku gedung-gedung pencakar langit dan juga tower-tower operator seluler yang menjulang tinggi di sekitarku, aku mungkin tak akan tersadar bahwa aku sedang berada di tengah kota. Kota Malang yang dingin tetapi tetap saja membuat gerah saat mentari sudah mulai beranjak di atas ubun-ubun, mentari siang hari. Meskipun demikian, ada kecantikan lain di kotaku ini. Apalagi di daerah tempatku tinggal sekarang.

Aku menikmatinya. Aku seringkali menikmatinya. Saat aku dengan senang hati dan tanpa terburu-buru berjalan pagi menuju halte mini bus yang akan mengantarku ke SMAI Az-Zahra III, sekolah tempatku mengajar setahun terakhir ini. Sekolah itu tak terlalu jauh. Aku hanya perlu berjalan sekitar lima menit untuk sampai di halte bus, menunggu kira-kira dua menit, dan mini bus Mentari Pagi akan membawaku ke Az-Zahra III, ehm.. kurang lebih sepuluh menit, lah.

Awal lima menitku kali ini terasa lebih menyejukkan. Mentari yang bersinar di antara sisa gerimis semalam terasa lebih menakjubkan. Sesekali tetesan air dedaunan yang tertiup angin sepoi mengenai kulitku. Nyess. Sedingin inikah salju? Mungkin lebih dingin. Jauh lebih dingin. Dan aku ingin benar-benar merasakannya, suatu hari nanti. Aku tersenyum. Senyumku diiringi simponi melodi pagi hari. Merdu. Kicauan burung yang terdengar merdu tak jauh di atasku, sepertinya burung-burung itu tak begitu berbeda denganku. Mereka juga sedang berangkat mengumpulkan rizki dari Tuhan untuk hidup yang indah ini. Bentuk salah satu syukur mahluk pada sang Khaliq. Pun demikian denganku.

Beberapa sapaan dan senyuman para tetangga menyuntikkan semangat pagiku. Ada yang sedang membersihkan halaman rumahnya. Ada yang sedang berbelanja. Ada yang sedang mengantarkan buah hatinya ke sekolah. Ada yang berangkat kerja. Ada yang baru pulang kerja, -ya, itu Pak Helmi, beliau seorang satpam yang kurasa berdedikasi tinggi pada profesi yang sudah begitu lama digelutinya. Dan ada pula yang baru saja pulang dari olah raga pagi,  jogging dan bersepeda keliling taman komplek perumahan tempat tinggalku ini. Ah, sudah lama aku tak melakukan olah raga pagi keliling komplek. Biasanya Andra yang paling rajin memaksaku ikut olah raga pagi menemaninya. Sama denganku. Mereka, orang-orang yang kutemui, pun tampak begitu menikmati pagi ini. Anak-anak kecil berseragam putih-merah, putih-hijau, mereka bergerumbul, bercanda, dan saling bertegur sapa dengan teman yang baru mereka jumpai. ”Pagi, Kak Ninis!” sapa Melinda yang dikuti sapaan bertubi-tubi teman-teman sekolahnya. ”Pagi, Meli,” aku membalasnya dengan senyuman, ”Pagi juga, Dena, Ratna, Lili” kupandang satu-persatu wajah cerah di depanku. Setelah memberikan senyuman padaku, mereka berlari kecil mendahuluiku, berbalik, menoleh lagi ke arahku, dan melambai. Hampir jam tujuh pagi. Mereka pasti terburu untuk mengikuti upacara bendera Senin pagi ini.
***
Halte sudah ramai. Jalan raya pun tampak sibuk kembali dengan berbagai kendaraan yang melaju di atasnya. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Lagi-lagi akupun harus dengan senang hati menunggu mini bus Mentari Pagi sambil berdiri. ”Koran, Mbak Ninis!” suara barito seseorang membuatku menoleh. Agung. Remaja kelas IX itu menawarkan koran lokal di tangannya untukku. Aku tersenyum. Membuka tas-ku. Mengambil dua lembar uang seribuan. ”Ok. Nih.” Agung menerima lembaran uang dari tanganku dan menyerahkan lipatan koran yang masih terasa hangat ke tanganku. ”Makasih, Mbak!” ucapnya tulus dan kubalas dengan anggukkan, ”Sama-sama.” Mini bus Mentari Pagi berhenti di depanku. Kulihat Agung sudah beranjak pergi. Aku naik dan duduk di tempat favoritku. Tempat duduk pojok belakang dekat jendela. Tak terasa pengap. Mini bus Mentari Pagi memang selalu tertib. Tak pernah overloaded. Apalagi wangi parfum para penumpang yang berbagai aroma. Hmm, mereka orang-orang yang bercita rasa tinggi. Semerbaknya tidak membuat perut mual ataupun kepala nyut-nyutan.

Aku membuka koran di tanganku. Senang rasanya. Tak begitu banyak berita kriminal. Kulipat kembali koranku. Rasanya aku lebih tertarik membaca jalanan pagi ini. Dari balik jendela di sebelahku, kulihat Agung masih sibuk menjajakan korannya. Lelaki remaja itu sungguh membuatku salut. Ia bersekolah sambil bekerja. Bersyukur sekolahnya masuk siang. Jadi ia bisa bekerja menjajakan korannya setiap pagi. Meskipun disibukkan oleh berbagai side job-nya, Agung tetap berprestasi di sekolahnya. Semester kemarin kudengar ia mendapatkan rangking ke-dua. Rumahnya tak jauh dari komplek perumahan tempatku tinggal. Di rumah sederhana itu, Agung hidup bersama Ibu dan seorang adiknya. Ayahnya meninggal setahun yang lalu. Agung lumayan dekat denganku dan juga teman-teman kostku. Ia sering datang dan membantu Bu Salma merawat taman bunganya. Kolam ikan mini bercat biru itu juga Agung yang membuatnya. Yang lebih membuat kami, aku dan teman-teman kostku, dekat dengannya juga karena sikapnya yang tak malu untuk belajar hal-hal yang baru. Agung sering menanyakan hal-hal yang belum dipahaminya pada kami. Ia pun tak segan untuk membalas budi, meski tentu saja kami tak pernah memintanya. Seperti dua minggu yang lalu. Ia membantu kami mengecat pagar rumah kost kami. Warna-warni yang indah. Seperti warna-warna deretan ruko yang kulihat di sepanjang jalan menuju Az-zahra III. Aku menyukainya. Warna-warna penuh semangat dan akrab. Hijau muda, biru laut, jingga senja yang terang. Pasti bumi menjadi seperti pelangi bila dilihat dari galaksi lain.

Bus berbelok dan melewati alun-alun kota. Hamparan bunga beraneka warna yang mengelilingi air mancur setinggi tiga meter dan kutaksir diameter kolamnya mencapai tujuh meter. Jauh lebih besar dari fountain mini di taman bunga Bu Salma. Burung dara berkeliling di dekat air mancur itu. menyenangkan sekali melihatnya. Trotoar di sekelilingnya tak kalah ramai. Ibu-ibu muda yang mendorong kereta bayinya. Nenek-kakek yang berjalan-jalan. Dan beberapa pemuda yang terlihat penuh keringat. Pasti mereka menghabiskan paginya dengan berkeliling alun-alun kota.
***
Bus berhenti di halte sebelah Az-Zahra III.
“Pagi, Bu Ninis. Assalamu’alaikum” Sapaan murid-muridku menyambut saat aku baru saja turun. ”Pagi, wa’alaikumussalam” jawabku. Mereka mencium tanganku. Hal yang sudah terbiasa dan lebih mudah aku terima. Dulu aku sering merasa tidak begitu nyaman saat ada anak-anak yang mencium tanganku. Maklum, aku belum menjadi seorang Ibu. Fikirku, seorang Ibu pasti lebih mudah menerima ciuman di punggung tangannya. Ibu. Ah, aku ingin mendengar suara Ibu pagi ini. Bergegas kumasuki gerbang sekolah dan menuju kantor. Beberapa siswa menyapa dan mencium punggung tanganku sepanjang jalan menuju kantor. Seperti biasanya, meski tengah kota, Az-Zahra sangat bersih dan Rindang. Tatanan tamannya menakjubkan.

Kumasuki kantor dengan berucap salam terlebih dahulu. Beberapa rekan guru tersenyum dan menyapa dengan sapaan pagi mereka. Kulihat jam digital di atas meja kerjaku. 07.15 a.m. Aku masih punya cukup waktu sebelum menuju kantin dan sarapan pagi. Kutaruh tasku di tempatnya. Kubuka. Kuambil K508i-ku. Kutekan beberapa nomor yang sudah kuhapal di luarkepalaku. Tuut..tuut. .nada sambung yang kudengar membuatku menyunggingkan senyum. Sambil menunggu, kunikmati beberapa tegukan teh dari gelas yang tersediadi atas mejaku. Pak Jali pasti sudah menyiapkannya.
Klik.
Seseorang mengangkat telepon di seberang sana.
”Assalamu’alaikum, Bunda.”
”Aku sedang menikmati kota cantikku pagi ini.”

***
--dew.pondok kupu-kupu. November 2010--
 

0 komentar:

Posting Komentar

hey, whoever are you, you can give comment to my writing. just enjoy giving me comment as long as it can be usefull for me. so, just be my on line's friends!!