Hujan

Selasa, 03 November 2009

diz nUn......

Seperti biasanya, siang tadi aku mengumpulkan mood-ku sebelum masuk kelas, seperti nasehat² yang sering diberikan rekan² guru yang lebih senior. Kata beliau², mood yang bagus sebelum masuk kelas akan membuat kami nyaman di kelas.

Ya, pikirku pun tak ada salahnya kalau aku menarik napas panjang, menghembuskannya, kemudian melatih senyum terbaik yang, seharusnya, akan sering aku berikan di kelas, dan akhirnya memenuhi pikiranku dengan berbagai hal menyenangkan yang membuat aku bersemangat.

Tapi lagi², belum sampai lima belas menit setelah aku mengucapkan salam, selamat siang, dan bertanya kabar, semangatku seakan mulai luntur. Beberapa siswa mulai berulah. Si A yang lebih asyik menggambar dari pada mendengarkan penjelasanku. Si B yang lagi² mencoret buku teman sebangkunya. Si C yang kali ini membuat bunga tulip dari sobekan kertas yang aku yakin hasil rampasan dari si D. Si E yang sedari tadi aku perhatikan selalu ngobrol dengan si F. Si G yang tak juga jera mengganggu si H meski berkali kali aku tegur. Dan beberapa siswa lain yang aku yakin juga sedang tak mengindahkan apa yang aku jelaskan. Kalo sudah seperti itu, maka seperti biasanya juga, aku mulai menutup buku yang aku pegang. Kembali duduk di bangku. Memandangi para pembuat ulah satu persatu. Dan menunggu sampai akhirnya mereka diam memperhatikanku.

Akupun melanjutkan penjelasan yang sempat terpotong. Kira² setengah jam aku menjelaskan tentang expression of pleasure and displeasure, beberapa siswa membuat ulah lagi. Jam pelajaran terakhir, lelah, dan lapar membuat emosiku tak terbendung lagi. Kalau kita berbicara di depan, berusaha menjelaskan materi yang harus mereka pahami, tapi banyak yang tidak memperhatikan, maka hal itu sungguh sangat menjengkelkan. Lebih menjengkelkan dari pada kita salah bidik saat bermain zuma. Aksi diamku untuk menunggu mereka diam tak lagi kulakukan.

Terpaksa. Kudatangi mereka satu persatu. Kurampas buku si A yang sehalaman penuh sudah bergambar lapangan bola lengkap dengan gawang dan nama pemain yang sudah di posisi masing². Kuminta pena si B yang dari tadi aktif mencoret buku teman sebangkunya. Kudekati si C yang akhirnya dengan sedikit paksaan menyerahkan empat kuntum bunga tulip karyanya padaku. Kuberikan tatapan elang-ku pada si E dan si F yang secara otomatis menjeda obrolannya. Dan terakhir, dengan sedikit agak kejam kuhadiahkan sebuah cubitan yang pasti sangat menyakitkan pada si G. Lagi² mereka terdiam dan memperhatikanku. Aku kembali duduk.

Masih ada setengah jam-an sampai bel pulang berdering. Aku tak lagi berminat melanjutkan materi yang semalam sudah aku persiapkan. Akhirnya, kuminta mereka untuk mentranslate teks dialog yang sudah aku tulis di whiteboard. Desahan ’yaaa’ panjang serentak saja mereka keluarkan. ’tak ada kata pulang sebelum tugas dikumpulkan’, warning-ku yang membuat mereka mendesahkan ’yaaa’ untuk kedua kalinya. Tak kuindahkan protes mereka. Tak kuhiraukan janji mereka untuk diam dan memperhatikan jika aku melanjutkan penjelasan. ’twenty five minutes more!’ warning-ku untuk kedua kalinya membuat mereka berhenti mendesah dan mulai sibuk menyiapkan kertas jawaban mereka.

Kulihat sekeliling. Mereka semua benar² sibuk mengerjakan tugas. Ada yang mulai pinjam kamus temannya. Ada yang mulai meraut pensilnya. Ada yang mulai tengok kanan kiri melihat jawaban temannya. Dan berbagai hal lain yang aku yakin benar² berhubungan dengan tugas yang aku berikan. Desahan ’yaaa’ panjang untuk ketiga kalinya serempak mereka keluarkan kira² sedetik setelah mereka dengar deringan bel pulang. ’Pulang, ya, Miss..??’ rengek mereka yang hanya kurespon dengan gelengan kepala. ‘Buat TR aja, ya, Miss..??’ lagi² ada yang berusaha nego denganku. Tapi sekali lagi kubalas dengan gelangan kepala. Biarlah, kali ini akan kukorbankan sedikit jam pulangku untuk membuat mereka lebih baik. Siapa tau, besok² mereka tidak akan melakukan ulah yang menjengkelkan lagi.

Kuperhatikan lagi mereka semua. Sebersit senyuman aku sembunyikan. Lucu juga melihat tingkah mereka. Sibuk sana sini. Sambil berkali kali memperhatikan jam dinding. Melupakan ulah yang sedari tadi mereka lakukan. Ada pula yang sebentar² menengok jendela, memperhatikan teman²nya dari kelas lain yang sudah berhamburan pulang.

Entahlah, aku rasa, aku tidak senakal mereka saat usiaku belasan tahun.

Meski dari segi fisik mereka lebih tinggi dan besar, tapi ternyata, jiwa mereka tetap saja remaja yang baru mengalami pubertas. Remaja yang belum sungguh² mengerti what for life is. Remaja yang masih ingin mendapatkan banyak perhatian. Remaja yang seringkali aku rindukan saat libur panjang. Remaja yang akan tetap mencium tanganku meski sudah berulang kali kumarahi. Dan remaja yang besok² lagi mungkin akan tetap berulah membuatku mengelus dada, sabar sabar.

Akhirnya, satu persatu lembar jawaban tugas mereka kumpulkan. Kuizinkan mereka berkemas dan bersiap pulang.

Ternyata benar dugaanku, mereka tetap saja mencium tanganku saat akan keluar kelas. Seketika, rasanya kejengkelanku pada mereka terkikis. Senyum yang sedari tadi aku siapkan akhirnya tersungging juga. Sungguh aku berharap, semoga mereka bisa menjadi muslim yang lebih baik. Semoga, Tuhan lebih mencerahkan pikiranku, menguatkan pundakku, menjernihkan hatiku, melapangkan dadaku, serta membuat aku lebih kuat tegak berdiri untuk (berusaha) menjadi muslimah yang lebih baik juga. Ya, semoga. . . ☺



D’s Lovely Room. November 2nd 2009. 10.10 p. m.

0 komentar:

Posting Komentar

hey, whoever are you, you can give comment to my writing. just enjoy giving me comment as long as it can be usefull for me. so, just be my on line's friends!!