Hujan

Jumat, 13 November 2009

J-mie

Namanya Mimil Jamilah. Karena keterpautan usia, dan juga karena tradisi yang sudah sudah, aku pun terbiasa memanggilnya mbak Mimil. Entah mbak Mimil akan marah ato apa kalo ia tau aku mempublish namanya dalam note ini. Yang jelas, hari ini aku ingin menulis tentangnya. Wait! Tapi aku rasa mbak Mimil akan lebih suka kalo ia dipanggil J-mie, nama pena yang sering ia sematkan dipojok kanan bawah tulisan² menakjubkannya. So, aku pake nama J-mie aja, ya…

Ia teman sekamar di asramaku dulu. Tapi bagiku, ia bukan hsnya teman sekamar, tapi sudah seperti kakak. Ia tak akan sungkan menegurku jika aku melakukan kesalahan. Tapi anehnya, ditegur olehnya tak pernah membuatku jengkel. Ia tak pernah bosan memberitahuku hal hal yang sebaiknya aku lakukan. Tapi herannya, dinasehati olehnya tak pernah terkesan menggurui Ia tak akan ragu menceritakan masalahnya padaku, meski kami terpaut hampir empat tahun, karna dia selalu bilang, aku harus belajar menjadi seorang pendengar yang baik sebelum menjadi seorang pembicara yang baik. Lagi pula, ia tak pernah mengharuskanku memberi solusi pada masalahnya. Aku cukup diam dan mendengarkan keluh kesahnya pasti akan membuat ia tersenyum kembali. Dan yang paling aku suka, ia seringkali tak menyembunyikan karya² master piece-nya dariku. Pernah suatu hari ia menyodorkan sebuah cerpennya untuk ku baca sebelum besok paginya ia serahkan dalam kompetisi kepenulisan cerpen yang diadakan kampusnya. Lalu, dua minggu kemudian, saat pulang kuliah, tangannya akan sibuk membawa piagam dan piala juara pertama kompetisi tersebut. Jadilah sore hari kami jalan² dan makan. Walhasil, bersama dengannya, menurutku, aku jadi lebih bisa bersikap lebih baik dan bijak.

Bagi teman² seasramaku yang lain, mungkin J-mie sosok pendiam ynag tak pandai bersosialisasi dengan teman² seasrama lain. Karna dalam seminggu, ia hanya tinggal selama lima hari saja. Tiap akhir pekan, selama dua hari, ia harus pulang karna selain seorang mahasiswi bahasa Jerman di sebuah PTN di Kota Malang ini, di kampung halamannya, ia adalah seorang guru bahasa Inggris. Dan dalam lima hari, ia lebih sering berangkat pagi, pulang sore bahkan terkadang malam. Jadilah ia sosok yang paling sulit ditemui di asrama kami. Tapi bagiku, ia sosok yang ramah. Yang akan berjuang untuk apa yang harus ia perjuangkan. Sosok yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Sosok yang religius yang akan membangunkanku untuk bersujud saat banyak mata terlelap. Sosok yang akan menjawab berbagai pertanyaan yang aku ajukan. Sosok yang mengajarkanku gutten morgen disaat² senggangnya.

Hari itupun tiba. Ia menjadi seorang sarjana dan harus kembali pulang. Saat ia pamit untuk pulang, tak ada yang aku khawatirkan. Tak ada air mata yang kami teteskan. Ia telah mengajarkan bahwa tak perlu ada air mata saat perpisahan. Kami hanya bertukar do’a semoga kami sama² sukses. Dan aku yakin suatu hari, bi idznillahi, kami mungkin saja bertemu kembali. Ia menyerahkan sesuatu padaku. Sebuah catatan sebagai kenang²an. Catatan yang memang aku minta ia tulis untukku. Catatan yang selalu aku baca saat tiba² aku teringat dan merindukannya. Catatan yang aku simpan dalam jurnal pribadiku.

0 komentar:

Posting Komentar

hey, whoever are you, you can give comment to my writing. just enjoy giving me comment as long as it can be usefull for me. so, just be my on line's friends!!