Hujan

Senin, 14 September 2009

DIA (Part 1)

“Aneh!”

“Nyentrik!”

Begitulah untuk kesekian kalinya komentar Tya dan Azzi, dua sahabatku, saat lagi-lagi mereka melihatku senyum-senyum setelah melihat Kak Dirga menyapaku.

“Da, kamu bener bener suka ma Kak Dirga, ta?” kali ini si Ima menegaskan pertanyaan yang juga sudah sering ia lontarkan.

“Gak, kok. Siapa lagi, yang suka ma Kak Dirga. Orang kenal juga nggak.” Elakku untuk kesekian kali pula.

“Uh, ngaku aja susah!” kata Tya akhirnya. Dan kami berempat pun melanjutkan perjalanan menuju kelas. Kulihat alba di pergelangan tangan Azzi, 07.42 a.m., masih ada 28 menit lagi, batinku.

***
Dirgahayu Ramadhani, begitulah nama yang akhirnya kuketahui tanpa sengaja. Setelah aku juga mengenalnya tanpa sengaja.

Saat itu, hari ke empat aku memulai kehidupan baruku di kampus ini. Ospek sudah berlalu seminggu yang lalu. Dan tiba tiba saja, di koridor dekat kelasku, berdiri sosok yang sepertinya sudah kukenal. Tanpa ba bi bu, kuhampiri sosok berkaca mata minus itu. “Kak Alfan, ya?” tanyaku sok kenal. Ia tampak sedikit bingung.
“Aku?” tanyanya kemudian, sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Iya, “ kataku penuh semangat, “ aku Mada. Kak Alfan masih ingat, kan?”

Ia tersenyum, sebuah senyum termanis yang kulihat hari ini. Hampir lima tahun tak bertemu dengan kakak kelasku saat SMP itu, rupanya ia sudah berhasil mengukir sebuah senyum yang indah.
“Maaf, Dik. Tapi sepertinya kamu salah orang, deh. Aku Dirga, bukan …, siapa kata kamu tadi?”

Deg, ….rasanya aku ingin meloncat dari lantai empat ini. Tapi, ia benar benar mirip dengan Kak Alfan.

“Oh ya?! Benar bukan Kak Alfan?” aku masih mencoba menebaknya. Sudah terlanjur, sambil mundur perlahan, aku ngotot kalau dia adalah kakak kelasku itu.
“Benar, nih lihat.” Dia menunjukkan diktat kuliahnya padaku, Dirga, begitulah nama yang tertera. Oh my God, rasanya aku sudah ingin mengakhiri kehidupan yang baru saja empat hari ini. Secepat mungkin aku berbalik dan tanpa sepatah katapun kutinggalkan sosok yang kurasa dalam hatinya telah menertawakanku itu.

“Kenapa, Da?” Tanya Azzi saat kuhampiri mereka di koridor seberang.
“Wah, kamu kenal ya ma Kak Dirga?” kali ini Ima yang bertanya sebelum aku jawab pertanyaan Azzi. Tunggu, bagaimana Ima bisa kenal Kak Dirga? Batinku langsung bereaksi.
“Im, kok kamu kenal ma Kak Dirga?” tanyaku reflek
“Ya iyalah. Dia kan yang kemarin masuk kelas kita. “
“Ngapain?” tanyaku heran.
“Ya Allah. Masa kamu gak merhatikan, Da. Kemarin kan ada kakak tingkat yang ngumumin kegiatan HMJ. Ya Kak Dirga itu.” Kali ini giliran Tya yang menyahut.

***
Ya, aku ingat sekarang. Pantas saja aku seperti sudah melihat sosok itu sebelumnya. Hanya saja ternyata aku salah terka. Rupanya, folder di memoriku sudah perlu diclean up, batinku. Akhirnya, dengan polosnya ku ceritakan pengalaman salah terkaku pada ke tiga sahabatku itu. Kontan saja mereka terbahak mendengarnya.
“Makanya, Da. Lain kali, kamu tuh jangan suka SKSD gitu.”
“Iya. Dan juga, belajar lebih peka pada sekitar. “
“Bener. Lagian salah kamu sendiri, kalo ada pengumuman, jangan suka bilang ‘males ah dengerinnya’ trus ditinggal corat coret gak jelas”
Nasehat nasehat bijak dan sok tua ke tiga sahabatku itu langsung memenuhi memori yang belum sempat aku clean up. Dan sekarang, rasanya memori di otakku juga sibuk membuat new folder buat nge-save kata kata indah nan penuh makna itu. Teman, aku takkan men-delete nasihat kalian itu, tekadku.
Akhirnya, sepanjang sisa hari itupun aku termenung. Aku bahkan tak mengucapkan kata maaf pada Kak Dirga. Dan rasanya, empat tahun ke depan aku tak bisa membayangkan jika aku bertemu dengannya lagi. Apalagi, dia satu jurusan dan anggota HMJ pula. Pupus sudah harapanku untuk jadi seorang aktivis.

***
Dua hari kemudian aku bertemu dengannya. Menunduk, itulah satu satunya yang aku lakukan. Entah mengapa, untuk mengatakan kata maaf masih terlalu sulit bagiku. Rasa malu-ku kali ini lebih besar dari keberanian yang biasanya overload. Kami saling melewati, dan aku sunguh tak berani memandangnya.

Lagi, untuk kesekian kalinya, kami bertemu. “Hai, “ sapanya. Dan tiga huruf yang keluar dari mulutnya itu mau tak mau meruntuhkan malu dan rasa bersalahku padanya. Kutegakkan lagi kepalaku. Sing…ada yang salahkah dengan pandanganku? Ia tersenyum, benar benar sebuah senyuman manis yang dulu juga sempat aku lihat saat aku salah menerkanya sebagai kak Alfan. Tapi kali ini-pun, bibirku masih juga terkatup dan tak mengucapkan kata maaf. Aku hanya balas tersenyum padanya dan melewatinya.

“Mada, kenapa wajahmu merah gitu?” Tanya Tya saat aku sampai di kelas.
Oh no, batinku. Mungkinkah warna merah di wajahku ini sudah ada sejak tadi aku bertemu Kak Dirga?
“It’s ok!!” jawabku asal.

Hari hari pun berlanjut. Aku merasa tuhan menghukumku karena belum mengucapkan kata maaf pada Kak Dirga. Hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Di koridor, di tangga, di taman, di kantin, bahkan di jalan aku pulang. Sampai akhirnya, keberanian itupun aku paksakan muncul.

“Kak, maaf!” kataku lirih saat kami bertemu di depan kelas. Hari itu di kampus ada kegiatan PEMILU Raya Mahasiswa. Dan ia termasuk salah satu kandidatnya.
“Maaf? Maaf untuk apa?” tanyanya heran karena aku –lagi lagi- tiba tiba menghampirinya dan berkata maaf padanya. Tentu saja hal itu juga membuatku tak kalah heran. Sebenarnya, dia masih ingat aku atau tidak, sih? Batinku.
“Ya, pokoknya maaf, deh, Kak!” kataku akhirnya, “dan, semoga sukses ya!” lanjutku sambil menunjukkan jempol yang sudah kucelupkan pada tinta. Ya, aku telah memilihnya saat dalam TPS.
Lupa, itulah kata kata yang terngiang dalam benakku saat aku berjalan menuju tempat kost Tya. Pasti Kak Dirga telah melupakan kejadian yang empat bulan telah berlalu itu. Tapi mengapa dia selalu tersenyum saat bertemu denganku? Dan selalu, ‘hai’ sapanya padaku. Tak pernah berubah, tiga huruf itu saja yang selalu ia lontarkan. Aku rasa, dia juga tak tahu dan tak pernah ingin tahu namaku.
Entahlah. Aku hanya terus berjalan menuju tempat kost Tya. Dan bertekad melupakan kejadian memalukan empat bulan yang lalu itu. Serta, melupakan senyuman manis yang selalu menjadi hadiah indah hari hariku. Ketiga sahabatku sedang berkumpul menunggu jam kuliah selanjutnya di kamar kost Tya. Hari ini, aku memang sengaja ke kampus lebih awal, ada beberapa hal yang perlu aku selesaikan sendirian.

***
Sudah hampir dua minggu ini aku tak bertemu dengannya. Aku rasa, Tuhan sudah tidak lagi menghukumku karena aku sudah mengucapkan kata maaf itu. Meski memang, seperti ada yang kurang memenuhi hari hari ku saat itu. Tapi aku salah. Aku salah jika aku berfikir bahwa aku tak kan bertemu dengannya lagi. Hari ini, aku dan ketiga sahabatku sedang menuju kelas writing kami saat kulihat dia berjalan dari arah yang berlawanan. Semoga dia belok, batinku. Tapi lagi lagi harapanku tak terkabul. Dia melawati kami dan, “Hai!” sapanya lagi sambil tersenyum padaku. Kali ini keberanianku juga sudah muncul kembali dan “ Hai, Kak!” balasku padanya sambil mengulum senyumku.

“Wah, Kak Dirga masih ingat tuh, Da!” komentar Azzi. Aku hanya diam dan kembali tersenyum.
“Heh, ngapain Da senyum senyum gitu. Hayo…!” ledek Ima.
“Apaan, sih” elakku

Kejadian berulang, kali ini bukan hanya aku yang bertemu dengannya. Tapi kami., aku dan ketiga sahabatku. Dan setiap kali bertemu, ia akan menyapaku dengan tiga huruf yang sudah menjadi mantra buatku. Dan ditambah sebuah senyuman, yang entah mengapa selalu kuanggap buatku, rasanya seperti sebotol ramuan polijus yang membuat keberuntungan sepanjang hariku. Dan layaknya hukum aksi reaksi, ledekan sahabatku pun jadi hiasan kebersamaan kami.

Hari hari berganti. Kejadian berulang. Entah mengapa, meski aku yakin dia tak tahu namaku, rasanya itu bukan hal yang harus dipermasalhkan. Cukup aku bertemu dengannya, mengucapkan password kami, tukar senyum. That is enough. Dan selanjutnya, semakin parah. Diary-ku pun penuh dengan namanya. Hamper setiap pertemuan kami aku tulis. Dan setelah itu tidurku akan terasa lebih nyenyak.

***
“Mada, kalau kamu suka seseorang tuh, yang nyata dong!” Baru saja kami sampai kelas, dan Tya sudah langsung melemparkan komentarnya.
“Apaan, sih, Ya?!” aku bertanya, sok bingung,
“Kak Dirga. Dia tuh orang paling aneh yang pernah aku temui. Masa dari dulu kalau ketemu cuman ‘hai’”
“Ye, siapa lagi yang suka ma Kak Dirga?!”
“Udah, ngaku aja, “ kali ini Ima ikut membela Tya. “Lagian, Da, menurutku bener kata Azzi. Dia tuh nyentrik. Kalau berpakaian gak pernah serasi. Trus apa lagi ya…? Pokoknya, gak banget deh!!”

“Udah, ah. Males kalo ngomongin ini terus.” Aku hiraukan mereka dan kubuka kembali buku yang sudah siap kucorat coret, kebiasaan lamaku.

***
Tiga tahun berlalu. Aku tetap keukeuh menyimpan rahasiaku. Diam tentang kebiasaanku menuliskan namanya dalam diary. Dan begitu juga Azzi, Tya, dan Ima, tetap keukeuh menebak kalau aku menyukai Kak Dirga, sosok berkaca mata yang kata mereka aneh, nyentrik dan gak banget, tapi kataku, simpatik, sebutan yang juga aku rahasiakan dari mereka. Aku tetap keukeuh mengelak kalau aku ada perasaan istimewa pada Kak Dirga, sementara mereka juga tetap keukeuh mengatakan kalau aku harus berhenti memikirkan Kak Dirga, sosok berkaca mata yang telah menjadi penghuni dunia khayalku.

Tiga tahun berlalu. Aku tak pernah mendengarnya dekat dengan seorang gadis. Itulah yang membuatku juga tak bisa berhubungan lebih dekat dengan Ari. Karna aku telah memilihnya sebagai aktor dunia fantasiku. Tapi tidak. Aku memang tidak pernah berharap lebih. Cukup tiga huruf h-a-i dan sebuah senyuman. Maka semuanya akan terasa cukup. Setidaknya sampai hari ini.

Tiga tahun berlalu. Dan hari ini, aku mendengar kabar itu. Dia di wisuda. Dan ini berarti, aku harus berhenti menjadikannya aktor dalam fantasiku. Aku harus berhenti menuliskan namanya dalam lembaran lembaran diary-ku. Aku tahu aku sanggup. Karena, tak kubulirkan air mata saat aku melihatnya dalam balutan toga. Meskipun aku tak melihatnya dari dekat, dan dia juga tak mengucapkan tiga huruf itu. Aku yakin dia saat ini sedang tersenyum. Senyuman termanis yang pernah aku lihat. Senyuman termanis yang menjadi inspirasi indahku. Senyuman yang hari ini aku yakin, bukan untukku.

Sambil melihat kepergiannya, hatiku hanya berbisik, ‘Wish you luck, Kak Dirga. And thanks for being a great actor in my life’. Aku berbalik, dan menuju ketiga sahabatku.

D’s lovely room, September 3rd 2009. 12. 14 am.

0 komentar:

Posting Komentar

hey, whoever are you, you can give comment to my writing. just enjoy giving me comment as long as it can be usefull for me. so, just be my on line's friends!!