Menulis.
Itulah awalnya.
Saya suka menuliskan segala hal yang saya rasakan. Dengan menuliskannya, saya hanya merasa telah menceritakannya. Karena nyatanya, saya bukan orang yang terbuka untuk bercerita tentang kehidupan pribadi saya (bercerita dalam artian cerita orally).
Setiap keheningan dan kesendirian selalu membuat liar imajinasi saya, merancang sebuah skenario, dan akhirnya saya akan menuliskannya, bisa menjadi sebuah cerpen (yang seringkali tanpa ending), rangkaian kalimat (yang dengan pede sering saya klaim sebagai sebuah puisi), ataupun hanya kata² yang bisa membuat rongga dada saya lebih leluasa untuk bernafas.
Masa abu² putih pun membuat hobi itu semakin parah. Saat itu, tinggal jauh dari orang tua dan keluarga membuat saya mencari tempat lain yang bisa membuat saya bebas bercerita. Jadilah, sebuah diary yang akhirnya berhasil menjadi teman dekat saya.
‘Anak muda… menulislah. Jangan pernah takut tidak dibaca atau dibuang orang. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti akan ada yang membaca dan (bahkan) menerbitkannya…’
(Pramoedya Ananta Toer)
Itu salah satu kata² favorit saya yang rasanya berhasil menjadi sebuah suplemen setiap kali saya akan bercerita pada Qolby, diary pertama saya.
Pun lingkungan saya seakan mendukung hobi saya, lingkungan orang² yang suka menulis dan membaca.
Hampir tiap hari ada komik, novel, majalah, surat kabar, atau buku² lain yang ngantri untuk dibaca. Dan saya menjadi benar² mengagumi mereka semua, orang² yang membuat bahan bacaan itu bisa saya nikmati. Mereka semua, para penulis, editor, komikus, cover designer, jurnalis, dan siapapun orang yang berhasil membuat kata² itu saya baca. Sekaligus orang² yang mendidihkan darah saya dan membuat saya jealous terhadap kelebihan mereka.
Cita² saya menjadi seorang guru pun goyah. Saya menjadi sangat ingin menjadi seorang penulis. Karena bagi saya, pasti bahagia rasanya bisa membuat orang lain mengetahui apa yang belum mereka ketahui setelah mereka membaca tulisan kita. Seperti perasaan yang saya rasakan setiap kali saya selesai membaca. Sayapun menjadi semakin mengagumi Asma Nadia, Pipiet Senja, Gola Gong, Hilman, Rowling, Mira W, dan para penulis lain yang bahkan masih belia. Yang karena tulisannya, saya bisa tersenyum simpul, mengerutkan kening, melipat muka, ataupun bahkan menangis sesenggukan.
Tapi seringkali apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan apa yang kita dapatkan. Pun saya merasa demikian. Saya merasa benar² belum mampu menjadi seorang penulis. Saya menulis cerpen, tanpa pernah bisa menghadirkan ending. Saya menulis puisi, dan berhenti. Saya mencoba membuat esei dan gagal. Menyerah, itulah yang dulu saya lakukan (Hal yang sempat saya sesali). Bahkan saat saya sudah menyadari bahwa semua itu adalah sebuah proses.
Saat itu , saya seringkali merasa tidak mungkin untuk menjadi seorang penulis. Jadilah, saya berusaha menjadi seorang pembaca yang baik. Berbagai macam buku saya baca. Tetapi tetap saja, dunia kepenulisan sepertinya sudah menjadi sebuah obsesi. Saya-pun sering berangan² dan berharap, kalaupun bukan saya yang seorang penulis, semoga kelak orang yang akhirnya menjadi qowam dalam keluarga saya adalah seorang penulis. Ya, tragis, bukan?
Saya sempat berhenti menulis. Dan hanya membiarkan kata² yang ingin saya tulis menari lincah di pikiran saya. Sampai akhirnya, saya menyadari satu hal. Kembali mantra Pak Pram yang lain menyadarkan saya.
Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah
Kali ini saya meyakini, saya bukannya menyerah. Tapi saya menulis untuk lebih bahagia. Egois, itu mungkin yang saya lakukan. Saya menulis untuk diri saya sendiri. Tapi memang itulah yang mampu saya lakukan saat ini. Menulis semampu saya. Bukannya tanpa berusaha. Tapi, saya benar² ingin memulai dari diri saya sendiri. Biar saja, menulis ini menjadi sebuah obsesi, sekali lagi, *semoga tidak kompulsif*
Karena saya butuh menulis.
Karena kelak mungkin, who knows, tulisan saya akan bermanfaat.
hai Dew,,
BalasHapussalam kenal juga yak~ :))
argh.
saya gak mampu nulis komen yang bagus jadinya,,
sumpah as usual post tulisan kamu enak dibaca,,
tapi kenapa ya kalo kita mencoba menulis sesuatu suka susah endingnya bakal bagaimana, o.O~
jadi cuma tahu awal tanpa akhir.
Dan yang ini:
"Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah"
kalimat itu dalem banget maknanya >.<
terus menulis ya!
panggil apa, nih?hehe.. Rora aja, ya?
BalasHapushaduh.. beneran bagus, ta? hihi.. jadi seneng ..!! upz..^^,
emang, sering banget yang kaya' gitu.. nulis tanpa bisa ngasih ending.. cz kadang ide tuh kaya' datang bertubi-tubi..hahay.. sok banget, ya? ah.. biar deh.. optimis.. n pede dikit..
thanks..
sip.. sama² terus nulis juga, ya..
panggil lenny aja, Dew :DD
BalasHapusrora serasa roro jonggrang dah *garing* lol xDD
yep!
saking bertubi2nya jadi suka bingung ya apa yang mau ditulis *sotoy* :DD
hahaha gpp pede mah, yang penting optimis yo!! :DD
haha.. iyya,, Len..
BalasHapusyang penting optimis.. semangat ^^v
p.s. roro jonggrang tuh katanya cantik, lho....!!